BATAMOKE.COM – Badai ekonomi global memaksa Singapura mengambil langkah antisipasi. Di tengah ancaman perang dagang dan disrupsi AI, prioritas utama pemerintah Singapura kini hanya satu: menciptakan lapangan kerja bagi warganya.
Dalam pidato National Day Rally yang bertepatan dengan 60 tahun kemerdekaan Singapura, Minggu (17/8), Perdana Menteri Lawrence Wong tak memungkiri tantangan besar di depan mata. Rivalitas Amerika Serikat dan China, kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump, serta ancaman AI terhadap tenaga kerja menjadi sorotan utama. “Babak berikutnya terbuka di dunia yang lebih bermasalah dan penuh gejolak,” ujarnya, dikutip dari Bloomberg.
Ini adalah pidato besar pertamanya sejak terpilih pada Mei lalu, melanjutkan dominasi People’s Action Party (PAP) selama enam dekade. Wong menekankan rencana untuk memperkuat ekonomi yang bergantung pada perdagangan, memperluas jaring pengaman sosial, dan membangun perumahan baru.
Saat kampanye, Wong menjanjikan stabilitas di tengah pertumbuhan global yang melambat dan proteksionisme yang meningkat. Ia meyakini PAP adalah pihak terbaik untuk melindungi warga Singapura dari guncangan ekonomi, termasuk dampak kebijakan tarif AS. Wong bahkan menyatakan pemerintah akan berbuat lebih banyak untuk membantu warga mendapatkan peluang kerja baru.
Di bawah kepemimpinan Wong, PAP telah memperluas kebijakan kesejahteraan sosial. Mereka memperkenalkan tunjangan pengangguran pertama dan mengucurkan miliaran dolar untuk subsidi pangan, listrik, dan pendidikan. Dari total populasi sekitar 6 juta jiwa, 3,6 juta di antaranya adalah warga negara.
Untuk menghadapi disrupsi teknologi, Wong juga mengumumkan pemerintah akan membekali dan memberdayakan setiap perusahaan, terutama usaha kecil dan menengah (UKM), agar mampu memanfaatkan AI secara efektif. Selain itu, ada program pencocokan kerja baru dan skema magang yang didanai pemerintah untuk lulusan universitas.
Wong menambahkan, pemerintah akan meninjau kembali strategi ekonomi. Perubahan eksternal yang terjadi saat ini, menurutnya, bukanlah hal sementara. Singapira harus memikirkan kembali bagaimana menjaga daya saing, mengakses energi hijau, dan membantu perusahaan menembus pasar baru. “Kita membutuhkan cetak biru ekonomi baru, untuk menjamin masa depan Singapura di dunia yang sangat berbeda,” katanya.
Di tengah kewaspadaan ini, ada kabar baik. Pekan lalu, pemerintah Singapura menaikkan proyeksi pertumbuhan 2025 menjadi 1,5%–2,5% secara tahunan, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya 0%–2%. Kinerja semester pertama yang lebih baik dari ekspektasi, berkat percepatan ekspor sebelum tarif AS berlaku, menjadi alasannya. BLOOMBERG


